Wednesday, 8 February 2017

Buku Tuhan Maaf Kami Sedang Sibuk

Detail Buku :

Judul Buku : Tuhan Maaf, Kami Sedang Sibuk

Penulis Buku : Ahmad Rifa’i Rif’an

Penerbit Buku : Quanta

Harga Buku Sekitar : Rp 80.000







Dari buku Tuhan Maaf, Kami Sedang Sibuk  ini akan banyak sekali hikmah yang akan kita dapat karena disusun dengan klasifikasi berdasarkan wilayah kehidupan yang hendak diekplorasi oleh penulis. Diawali dengan bagian Menata Hati Membenahi Nurani, anda akan diajak untuk bercengkerama tentang permaknaan tauhid, takdir, sufi, serta beberapa tema yang menyentuh wilayah jiwa. Bahasan dilanjutkan dengan tema Baitii Jannatii yang mengeksplorasi trik dan tip islam untuk menggapai kesuksesan dalam wilayah keluarga. Bagian ketiga memancarkan cahaya surge ditempat kerja, anda akan diajak memakai ulang seluruh aktivitas pekerjaan kita sebagai media penghambaan diri kepada Sang Pencipta. Buku ini ditutup dengan bagian memperkokoh semangat dan visi hidup yang memotivasi muslim untuk meraih empat tangga kesuksesan.

Buku ini tidak hanya menjadi media perenungan untuk memasuki wilayah sacral dalam lubuk sanubari kita, namun juga member pancaran inspirasi, ilmu, serta semangat yang menggugah dan mencerdaskan.

Kalimat pembuka buku alumni ITS Surabaya, Ahmad Rifa’i Rif’an tersebut seolah mencabik kalbu tiap pembacanya. Manusia ingin selamat dari siksa Tuhannya tetapi tidak pernah menapaki jalan keselamatan. Manusia ingin meraih kebahagiaan disurga namun tiada pernah mencari keridhaan-Nya.

Manusia yang hebat bukanlah mereka yang merasa “ sok suci”. Hal ini justru menjadikannya sukar untuk melihat keburukan diri sendiri. Padahal siapa yang menjamin bahwa dirinya orang yang suci? Nabi Muhammad SAW yang dijamin terampuni dosanya, tetapi beliau selalu beristighfar dalam sehari 100 ×, tentunya manusia pada umumnya, harus lebih berkewajiban untuk selalu ingat akan kebesaran Tuhannya. Sehingga tidak lagi tersisa kesombongan dan ke “ soksuci” an. Kesibukan seakan menjadi tameng untuk menghindarkan diri dari kesalahan.  Dengan alas an sibuk, orang dengan mudah melalaikan kewajibannya. Seorang ibu melupakan  anaknya. Padahal, anak adalah amanah Allah. Akhirnya, raiblah jiwa keibuannya ( ada di halaman 120 yha teman ). Begitu juga anak, yang karena keibukannya lupa untuk sekedar menyapa orang tuanya sendiri. Sungguh miris bukan?

Berapa jam dalam sehari anda sempatkan waktu anda untuk beribadah dan berkomunikasi dengan Allah serta berapa penghasilan yang anda sisihkan dalam sebulan untuk bersedekah? dari pertanyaan ini sudah menunjukkan karakter kita yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk urusan dunia dibandingkan akhirat. Bahkan untuk beribadah dan berkomunikasi dengan Allah saja kita harus menyempatkannya. Seolah –olah manusia pelit, bahkan untuk akhirat justru menyedekahkan harta yang masih tersisih “ pertikaian” antara urusan dunia dan akhirat seolah tidak pernah menemukan “ benang merah”-nya. Manusia yang secara fitrah ingin mengabdi kepada Tuhan (ukhrawi) sering kali terjebak kepada kepentingan duniawi. Akhirnya bergelut dengan dunai, berapapun lamanya, menjadi terasa sebentar. Sementara perihal ibadah kepada Tuhan, terasa begitu lama dan membosankan.

Kesibukan membutakan mata hati untuk berbuat baik dengan tetangga. Padahal, islam menjadikan kepedulian kita terhadap tetangga sebagai tolok ukur keimanan. (di halaman 154 yha sobat). Orang yang menghormati tetangganya adalah mereka yang sudah sempurna keimanannya.

Seharusnya Tuhan haruslah hadir dalam setiap aktivitas. Apapun yang kita lakukan, tidak lepas dari “nafas” ketuhanan. Sehingga, segalanya benar –benar bermanfaat dan mendatangkan keberkahan dan ketika masalah datang bertubi – tubi dengan penuh keyakinan dan keikhlasan kita justru justru berkata “ Hai masalah, saya punya Allah Yang Maha Besar” ( ada dihalaman 241  sobat ). Dan ketika manusia sadar akan kebesaran Tuhan maka ia akan mampu bersikap altruistis. Ia sadar bahwa eksistensinya didunia bukanlah karena dirinya sendiri. Namun,lebih kepada karena Allah ingin melihat kiprahnya demi kepentingan semesta dan umat manusia.

Buku ini di tulis oleh Ahmad Rifa’i Rif’an, seorang penulis muda yang handal ini “menyambuk” pembaca. Kita begitu asyik dengan kehidupa dunia yang sebenarnya hanyalah rayuan yang melengahkan. Berbagai topic yang dihadirkan membuka mata hati untuk menyikapi kehidupan yang sementara ini. ingatlah Allah, karena atas izin- Nya kita terlahir di dunia ini dan kepada- Nya semata kita akan kembali.

Tuhan, harap maklumi kami, manusia-manusia yang begitu banyak kegiatan.
Kami benar-benar sibuk, sehingga kami amat kesulitan menyempatkan waktu untuk-Mu.

Tuhan, kami sangat sibuk.  Jangankan berjamaah, bahkan munfarid pun kami tunda-tunda.
Jangankan rawatib, zikir, berdoa, tahajud, bahkan kewajiban-Mu yang lima waktu saja sudah    sangat memberatkan kami.

Jangankan puasa Senin-Kamis, jangankan ayyaamul baith, jangankan puasa nabi Daud, bahkan puasa Ramadhan saja kami sering mengeluh.

Tuhan, maafkan kami, kebutuhan kami di dunia ini masih sangatlah banyak, sehingga kami sangat kesulitan menyisihkan sebagian harta untuk bekal kami di alam abadi-Mu.

Jangankah sedekah, jangankan jariyah, bahkan mengeluarkan zakat yang wajib saja seringkali terlupa.

Tuhan, urusan-urusan dunia kami masih amatlah banyak. Jadwal kami masih amatlah padat. Kami amat kesulitan menyempatkan waktu untuk mencari bekal menghadap-Mu.

Kami masih belum bisa meluangkan waktu untuk khusyuk dalam rukuk, menyungkur sujud, menangis, mengiba, berdoa, dan mendekatkan jiwa sedekat mungkin dengan-Mu.

Tuhan, tolong, jangan dulu Engkau menyuruh Izrail untuk mengambil nyawa kami. Karena kami masih terlalu sibuk.

Banya sekali hikmah dan pelajaran setelah membaca buku ini, semoga bisa mengetuk pintu hati kita yang tertutup akan kesibukan yang kita lakukan.

No comments:

Post a Comment