Sunday, 1 February 2015

Review : Buku Berjalan di Atas Cahaya


Detail Buku :
Judul : Berjalan di Atas Cahaya
Pengarang : Hanum Salsabiela Rais, Tutie Amaliah dan Wardatul Ula
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 210 Halaman

Harga sekitar : Rp. 40.000,-













Buku karya Hanum Salsabiela Rais, dkk. yang berjudul Berjalan di Atas Cahaya adalah sebuah novel terusan dari 99 Cahaya di Langit Eropa. karena terlalu tingginya antusias pembaca dalam mengetahui keadaan muslim di eropa. Tapi tidak seperti buku sebelumnya yang berisi yang berisi perjalan si penulis dalam mencari jejak kebesaran islam. Di buku ini, penulis menguak nilai-nilai islam yang ditemui di benua biru seperti kejujuran, ketulusan dan kecerdasan serta ingin meyakinkan pembaca bahwa agama tidak disebarkan melalui pedang dan perang tetapi melalui budi pekerti yang luhur.

kita bisa melihat kisah yang dituturkan oleh Hanum saat berkunjung ke Neerach, Swiss. Markus, merupkan seorang mualaf yang ingin ditemuinya untuk keperluan wawancara meminta Hanum menunggu di kedai bunga yang aneh. Dimana tempat tersebut hanya ada lampu yang sudah usang. kedainya pun sangat sederhana, dirakit dari papan kayu, lalu dipaku sudut-sudutnya. Persis kedai penjual roko atau bensin di tepi jalan raya Indonesia (Hal. 41). Namun, bedanya di kedai bunga tersebut tidak ada penjual yang menunggu. Pembeli membayar barang yang dibeli dengan langsung meletakan uang pada kaleng yang telah disediakan. Jika ada kembalian , tinggal ambil sendiri di kaleng yang lain. Dan jika tidak ada uang tersedia dalam jumlah yang diinginkan, pembeli cukup menulis nama dan alamat pada notebook yang disediakan, uang kembalian pun akan diantarkan oleh penjual ke alamat yang dituliskan. Sungguh praktik kepercayaan luar biasa, Bagaimana mungkin orang-orang Swiss menerapkan syariat islam tanpa membubuhkannya pada konstitusinya? (Hal. 44).

Sebuah praktik ketulusan yang dikisahkan oleh Tutie Amaliah selaku penulis kontributor. Dalam penerbangan ke Wina untuk menyusul suami tercinta, Tutie bertemu dengan seorang pendekar bercadar. Waktu di pesawat samapi bandara Wina, yang mana Tutie mendapat pertolongan banyak dari pendekar bercadar tersebut. Salah satunya, wanita tersebut rela bertukar tempat antri dengan Tutie. Alasannya sederhana, karena petugas bandara 'senang' dengan orang bercadar. Jadi, dia pasti akan diperiksa lebih lama (Hal. 83).  dan hal tersebut dapat membuat Tutie lebih lama menunggu. Sedangkan Tutie, harus menunggu bersama dengan buah hatinya yang baru berusia 6 bulan.

Saat membaca kisah ini ketulusan dan keikhlasan hati sangat terasa. Tutie menuliskan "Sungguh saya ingin kembali kepada petugas di imigrasi, dan mengatakan bahwa orang yang mereka tahan lama-lama hanya karena bercadar adalah pendekarnya hari ini. Dia adalah orang baik, telepas seperti apa penampilan fisiknya. Cadarnya tak merintanginya berbuat baik kepada orang yang belum dikenalnya, bahkan tak peduli apa agamanya. Hubungan manusia, ber-hablum minannas-lah, yang mendasarinnya memberikan tangan untuk sesama" (Hal. 88).

Kisah lain yang tak kalah menarik adalah kisah Rangga, suami Hanum. Dengan kecerdasan yang dimilikinya, melalui Game Theory yang dimainkannya, Rangga berhasil mengecoh teman-temannya dan memperoleh keuntungan 415 euro. Jumlah yang fantastis. Namun, Rangga tidak menggunakan uang tersebut untuk kepentingan pribadinya melainkan disumbangkan pada organisasi remaja dan muda-mudi Muslim Linz(LMJO).

Dari kisah-kisah di atas, masih ada 14 kisah lain yang dirangkai secara apik dan apa adanya. Semua kisah tersebut sederhana namun sarat akan makna. Banyak kejutan-kejutan yang diberikan oleh penulis dalam buku ini. Seperti kejutan dalam buku 99 Cahaya di Langit Eropa. Kejutan dalam buku berjudul Berjalan di Atas Cahaya ini juga membuat pembaca tercengang dan kagum.

No comments:

Post a Comment